Arti Kata Nikah

www.SORAYA.web.id, Kata pernikahan berasal dari bahasa arab, yakni an-nikah (النِكَاحِ). Secara bahasa, kata nikah memiliki dua makna. Pertama, nikah diartikan sebagai hubungan jimak (berkumpul) yang dimaksud adalah bersetubuh atau hubungan seksual. Kedua, nikah diartikan sebagai akad, yaitu ikatan atau kesepakatan.

soraya arti nikah wanita berjilbab menikah sunnah nabi fitrah manusia

Menurut penjelasan Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab[1] berikut ini:

كتاب النكاح. هُوَ لُغَةً الضَّمُّ وَالْوَطْءُ وَشَرْعًا عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ إنْكَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ

Artinya, “Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya,”.

Arti Nikah Menurut Istilah

Di kalangan ulama fikih terdapat perbedaan pendapat dalam memberikan definisi nikah. Perbedaan disebabkan metode fikih yang dianut. Berikut ini pendapat dari kalangan ulama 4 mazhab populer dalam bidang fikih yang memberikan definisi nikah[2]:

  • Mazhab Hanafi: Nikah adalah akad yang berarti mendapatkan hak milik untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang tidak ada halangan untuk dinikahi secara syari.
  • Mazhab Maliki: Nikah adalah sebuah akad yang menghalalkan hubungan seksual dengan perempuan yang bukan mahram, bukan majusi, bukan budak, dan ahli kitab, dengan sighah.
  • Mazhab Syafii: Nikah adalah akad yang mencakup pembolehan melakukan hubungan seksual dengan lafaz nikah, tazwij atau lafaz yang maknanya sepadan.
  • Mazhab Hambali: Nikah adalah akad perkawinan atau akad yang diakui di dalamnya lafaz nikah, tazwij dan lafaz yang punya makna sepadan.

Menikah Adalah Fitrah Manusia

Salah satu di antara sunnah nabi adalah menikah (memiliki pasangan yang sah, menjalani kehidupan sebagai pasangan suami istri). Pernikahan itu sendiri adalah fitrah manusia dan merupakan bagian dari naluri kemanusiaan (Gharizah Insaniyyah).
Baca Juga:
Dengan diciptakannya naluri kemanusiaan inilah maka Islam menganjurkan bagi siapa pun anak cucu nabi Adam yang beragama Islam untuk menikah. Salah satu tujuannya tidak lain adalah untuk mengatur hasrat gharizah (naluri)manusia. Sebab bila naluri kemanusiaan ini tidak terpenuhi dengan pengaturan yang baik (pernikahan yang sah), maka manusia akan mencari jalan-jalan syaitan yang menjerumuskan manusia ke lembah hitam seperti melakukan hubungan gelap, perselingkuhan, perzinahan, dan perbuatan dosa lainnya.

Menikah Adalah Sunnah Nabi

Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat radhiyallaahu ‘anhum datang bertanya kepada isteri-isteri Nabi shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadahan beliau. Kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan ibadah mereka.

Salah seorang dari mereka berkata: “Adapun saya, maka sungguh saya akan puasa sepanjang masa tanpa putus.” Shahabat yang lain ber-kata: “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Yang lain berkata,“Sungguh saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan nikah selama-lamanya… dst”.

Ketika hal itu didengar oleh Nabi shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda:

 أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّي َلأَخْشَاكُمْ ِللهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي. 

“Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku ber-buka, aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyukai Sunnahku, ia tidak termasuk golonganku[3].

Hukum Menikah dalam Islam

Karena kondisinya yang bersifat kondisional-kasuistik, di mana ada orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan ada juga yang tidak mampu, maka hukum melaksanakan pernikahan pun berbeda-beda tergantung kondisi seseorang.

Dari sudut pandang hukum, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i menjelaskan:

 حُكم النِكَاحِ شَرْعُا للنكاح أحكام متعددة، وليس حكماً واحداً، وذلك تبعاً للحالة التي يكون عليها الشخص

Artinya, “Hukum nikah secara syara’. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik).[4]”.

Berdasarkan keterangan Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, maka hukum nikah dapat dibagi menjadi beberapa ketetapan hukum antara lain sebagai berikut:

Hukum Nikah itu Sunah

Hukum nikah adalah sunah karena nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hukum asal nikah adalah sunah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya sebagaimana keterangan dari hadits nabi berikut ini:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاءٌ

Artinya, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya[5].”

Hukum Nikah itu Sunah Ditinggalkan

Nikah dianjurkan atau disunahkan baiknya tidak dilakukan. Ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya menginginkan nikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk ongkos menikah dan menafkahi istri. Dalam kondisi ini sebaiknya orang tersebut menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah, beribadah dan berpuasa sambil berharap semoga Allah mecukupinya hingga memiliki kemampuan.

Hal ini senada dengan firman Allah SWT melalui al-Qur`an:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِه ِ

Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya[6].”

Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap memaksakan diri menikah, maka ia dianggap melakukan tindakan yang dihukumi khilaful aula, yakni kondisi hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik untuk dirinya.

Hukum Nikah itu Makruh

Nikah adalah makruh. Ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan nikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena penyakit. Ia pun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan bahwa hak dan kewajiban dalam pernikahan tidak dapat tertunaikan.

Hukum Lebih Utama Jika Tidak Menikah

Hal ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, namun sedang dalam kondisi tidak membutuhkan nikah dengan alasan sibuk menuntut ilmu atau sebagainya.

Hukum Lebih Utama jika Menikah

Hal ini berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, serta sedang tidak disibukkan menuntut ilmu atau beribadah. Maka orang tersebut sebaiknya melaksanakan nikah.

Apakah Anda Sudah Menikah?
Atau Masih Jomblo?
Footnote:
[1] Lihat Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman 38.
[2] Dalam buku Ensiklopedia Fikih Indonesia: Pernikahan (2019), karya Ahmad Sarwat, terdapat penjelasan soal definisi nikah menurut empat mazhab fikih (hlm 4-5).
[3] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5063), Muslim (no. 1401), Ahmad (III/241, 259, 285), an-Nasa-i (VI/60) dan al-Baihaqi (VII/77) dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu).
[4] Lihat Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17).
[5] Hadits Nabi riwayat Al-Bukhari nomor 4779.
[6] Al-Qur`an, Surat An-Nur ayat 33.