Dalam catatan berikut ini tidak bermaksud mendewa-dewakan Bung Karno (Soekarno)1 dan tidak juga bermaksud untuk melecehkan agama manapun kecuali sebatas menyampaikan kepada anda bagaimana pandangan Bung Karno tentang penganut agama Islam di Indonesia.

Islam Sontoloyo Pemikiran Soekarno Bung Karno

Untuk mengetahui bagaimana pandangan Bung Karno (BK) tentang penganut agama Islam di Indonesia dan bagaimana seharusnya seseorang itu mengamalkan Islam yang benar menurut BK dapat anda baca melalui buku-bukunya. Di antaranya yang cukup populer menjadi kontroversi dan perhatian publik adalah beberapa artikel (esai) BK yang dituangkan dalam buku yang berjudul: Di bawah bendera Revolusi (Islam Sontoloyo), dan artikel (esai) bertajuk Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara yang diterbitkan oleh majalah Pandji Islam dalam edisi khusus Maulid Nabi April 1940 setelah tim redaksi majalah Pandji Islam meminta Bung Karno menulis artikel keIslaman tentang Maulid Nabi Muhammad Saw.

Berikut ini adalah 5 Ciri Islam Sontoloyo yang kami ketik ulang (dengan mengurangi beberapa bagian) dari beberapa referensi silahkan cek di footnote.2

1. Mudah Mengkafirkan (Royal Mencap Kafir)
Dalam surat-surat Islam dari Endah (1930-an) dan Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara (1940), Bung Karno menulis kritik terhadap kecenderungan sebagian ulama dan umat Islam saat itu yang begitu mudah mencap kafir.
Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat kafir; radio dan kedokteran kafir; sendok dan garpu dan kursi kafir; tulisan Latin kafir; yang bergaul dengan bangsa yang bukan bangsa Islam pun kafir! Padahal apa-apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, Bukan Api Islam yang menyala-nyala, Bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi...dupa dan korma dan jubah dan celak mata ! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar,-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astaghfirullah! inikah Islam? inikah agama Allah? yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke up-to-date-an? yang mau tinggal mesum saja, kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal naik onta dan makan zonder sendok saja, seperti di zaman Nabi dan khalifah-nya.
Dalam tulisan di atas, terlihat bahwa sikap Bung Karno terhadap orang-orang yg terlalu mudah mencap orang lain atau sesuatu sebagai Kafir dengan ucapan atau kalimat zikir taubat Astaghfirullah! selanjutnya BK mempertanyakan atau menyindir orang-orang itu dengan pertanyaan: Inikah Islam? Inikah Agama Allah?

2. Taklid Buta
Bung Karno termasuk seorang muslim yang tidak menyukai taklid buta tanpa melalui proses pemikiran yang mendalam dan menyesuaikan dengan kondisi kekinian (keadaan zaman sekarang), bahkan BK memberikan kesan kalau dirinya mengkritik Taklid Buta.

Pemikiran Bung Karno diduga dipengaruhi oleh para pemikir Islam progrssif seperti Amir Ali yang mengkritik keras taklid dan cara berpikir kaum bermazhab yang lebih mengedepankan pendapat Imam mazhab ketimbang al-Quran dan al-Hadis. Kritikan terhadap faham taklid tentu saja menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai lapisan mayoritas masyarakat Indonesia dll yang mengutamakan pendapat imam mazhab.

3. Mengutamakan Fikih 
Dalam Islam Sontoloyo (1940), Bung Karno menulis bahwa fikih bukanlah satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utamanya ialah terletak dalam ketundukan kita punya jiwa pada Allah.

“Fikih itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama. Belum dapat memenuhi syarat-syarat ketuhanan yang sejati, yang juga berhajat kepada tauhid, akhlak, kebaktian ruhani, kepada Allah,” tulisnya.

Menurutnya, Al-Quran dan api Islam seakan-akan mati karena kitab fikih itu sajalah yang dijadikan pedoman hidup, bukan kalam Illahi sendiri.

Dunia Islam sekarang ini setengah mati, tiada nyawa, tiada api, karena umat Islam sama sekali tenggelam dalam kitab fikihnya saja, tidak terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya Levend Geloof, yakni udara-udaranya agama yang hidup.

Hal itu tak berarti Bung Karno membenci fikih. Menurutnya, fikih tetap penting. Bahkan ia menyebutkan, masyarakat Islam tak dapat berdiri tanpa hukum-hukum fikih. Sebagaimana tiada masyarakat tanpa aturan perundang-undangan.

“Saya hanya membenci orang atau perikehidupan agama yang terlalu mendasarkan diri kepada fikih, kepada hukum-hukumnya syariat itu saja,” tulisnya.

Dalam esai Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, 1940. Bung Karno menunjukkan interpretasi fiqih moderen seperti digambarkan dalam cerita berikut ini:

Pada suatu hari, anjingnya menjilat air di panci dekat sumur. Ratna Djuami, anak angkatnya, berteriak, "Papi, si Ketuk menjilat air di dalam panci!" Soekarno menjawab, "Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin." Ratna termenung sebentar, kemudian bertanya, "Tidakkah Nabi bersabda bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, di antaranya satu kali dengan tanah?" Sukarno menjelaskan,"Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.

4. Tidak Belajar Dari Pengalaman Sejarah
Dalam Surat-surat Islam dari Endeh (1930-an), Bung Karno menulis, umumnya kita punya ulama dan kiai tapi tak ada sedikitpun “feeling” kepada sejarahnya. Mereka punya minat hanya tertuju pada agama, terutama pada bagian fikih. Tapi pengetahuan tentang sejarah umumnya nihil. Padahal sejarah adalah padang penyelidikan yang maha penting!

“Kebanyakan mereka tak mengetahui sedikitpun dari sejarah itu. Sejarah, apalagi bagian “yang lebih dalam”, yakni yang mempelajari kekuatan-kekuatan masayarakat yang menyebabkan kemajuan atau kemundurannya sesuatu bangsa. Sejarah itu sama sekali tidak menarik mereka punya perhatian,” tulisnya.

Paling mujur, lanjut Bung Karno, mereka hanya mengetahui tarikh Islam saja. Dari tarikh Islam ini seharusnya mereka sudah dapat menggali juga banyak ilmu yang berharga. Tapi umumnya kita mempelajari hukum, kenal isi kitab fikih, mengetahui tiap perintah dan larangan agama hingga yang terkecil, tapi kita tidak mengetahui bagaimana cara Nabi, para sahabat, tabiin, khalifah menaafsirkan perintah dan larangan-larangan Allah di dalam urusan sehari-hari dan urusan negara.

“Kita sama sekali gelap dan buta buat di dalam hal menafsirkan itu oleh karena tidak mengenal tarikh,” imbuhnya.

Menurutnya, pelajaran terbesar dari sejarah adalah bahwa Islam di zamannya yang pertama dapat terbang meninggi seperti burung garuda di atas angkasa karena fikih tidak berdiri sendiri. Fikih disertai dengan tauhid dan etiknya Islam yang menyala-nyala. Fikih hanyalah “kendaraan” saja.

Kendaraan ini dikusiri oleh rohnya etik Islam serta tuhid yang hidup. Dengan fikih yang demikian itulah umat Islam menjadi cakrawati (pucuk pimpinan) di separuh dunia!

Dengan mengutip Essad Bey, Bung Karno mengatakan, jika kedudukan fikih begitu sentral di situlah Islam membeku menjadi satu sistem formil belakang. Ia tiada bergerak lagi, ia mandek! Bukanlah saja mandek, fikih bukan lagi menjadi petunjuk dan pembatas hidup.

Jika pemuka dan umat Islam Indonesia tetap tidak mengindahkan pelajaran besar dari sejarahnya sendiri dan mengikuti jejak para pemimpin besar di negeri lain serta hanya berorientasi fikih, maka jangan harap umat Islam Indonesia akan dapat mempunyai kekuatan jiwa hebat untuk menjunjung dirinya dari keadaan aib yang sekarang ini.

5. Menggunakan Hadis Lemah sebagai Pedoman
Menurut Bung Karno, di antara penyebab kemunduran umat Islam termasuk yang di Indonesia (masa itu) adalah karena telah menjadikan berbagai hadis lemah sebagai pedoman.

“Saya perlu kepada Bukhari atau Muslim itu karena di situlah dihimpun hadis-hadis sahih. Walaupun dari keterangan salah seorang pengamat Islam bangsa Inggris, di Bukhari pun masih terselip hadis-hadis yang lemah. Dia pun menerangkan, bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, kemesuman Islam, ketakhayulan orang Islam banyaklah karena hadis-hadis lemah itu yang sering lebih laku daripada ayat-ayat Al-Quran. Saya kira anggapan ini adalah benar.”

Bung Karno Islam Sontoloyo di bawah bendera revolusi
Kesimpulan...
Pemikiran Soekarno (Bung Karno) dapat disingkat menjadi:
  • Sebagai Tokoh Pemikir Islam progressif di Indonesia
  • Mempertanyakan keIslaman orang-orang yg merasa suci, berjubah panjang bertasbih dan bercelak mengikuti budaya arab (kearab-araban) dan sangat kuno dalam pengamalan Islam (Istilah: Islam Sontoloyo) namun sudah merasa jika Islam-nya sudah benar tapi kok begitu mudah mengkafirkan orang lain.
  • Tidak menolak penemuan fiqih (Hasil Ijtihad) para Imam Mazhab terdahulu namun Soekarno lebih suka menghindari taklid buta dan mengedepankan pembaharuan dalam hal pemahaman dan pengamalan hukum fiqih.

Footnote
1Soekarno atau dikenal juga dengan nama Bung Karno adalah presiden pertama Republik Indonesia
2Silahkan Telusuri REFERENSI yang menulis tentang Islam Sontoloyo di: http://www.madinaonline.id/khazanah/lima-ciri-islam-sontoloyo-menurut-bung-karno/ dan http://www.kompasiana.com/dewagilang98/soekarno-anjing-dan-islam-sontoloyo_56397c053dafbd560547897d